OnokAe.com, JAKARTA — Climate and Energy Campaigner Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari, menilai ketahanan energi bisa dipertaruhkan jika negara masih bergantung pada batu bara. Musababnya, saat ini Indonesia merupakan negara pengekspor batu bara terbesar di dunia.
Adila mengatakan jika komoditas itu habis, Indonesia harus bersaing dengan negara lain untuk mendapatkan batu bara dengan harga yang mahal. “Ditambah lagi dengan kondisi pasar yang tidak menentu, ketahanan energi Indonesia di sini dipertaruhkan,” ujar dia dalam diskusi daring bertajuk Merdeka dari Energi Fosil yang digelar pada Kamis, 18 Agustus 2022.
Di tengah krisis energi global, semua energi fosil–termasuk batu bara–akan mengalami kenaikan harga. Adila menghitung kini harga batu bara sudah meningkat empat kali lipat ketimbang tahun lalu menjadi US$ 400 per metric ton.
Kondisi tersebut akan menyulitkan Indonesia untuk mengamankan cadangan batu baranya, terutama untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN dan industri yang yang mengandalkan komoditas tersebut. Kenaikan harga batu bara membuat pengusaha lebih tertarik menjual komoditas ke pasar internasional karena disparitas harga yang cukup lebar.
Jika memasok komoditas ke dalam negeri untuk memenuhi domestic market obligation (DMO), batu bara hanya dihargai US$ 70 per metric ton. Sedangkan bila dikapalkan ke luar negeri, harga batu bara bisa menembus US$ 350 per matric ton, bahkan mencapai US$ 400 per matric ton.
“Ke depan pastinya itu harga batu bara ini akan semakin langka dan mahal karena sumber dayanya habis,” kata dia. “Dan Indonesia ternyata kita hanya mempunyai cadangan batu bara itu sebesar 3,2 persen dari total cadangan batu bara yang ada di dunia”
Berbeda dengan batu bara, harga energi surya dan angin malah turun signifikan dalam 10 tahun terakhir. Penurunan harga untuk masing-masing energi terbarukan tersebut hampir 90 persen untuk surya dan 70 persen untuk angin.
“Sedangkan harga energi yang berasal dari batu bara cenderung stagnan. Teknologinya sudah matcher sehingga untuk menurunkan harganya akan sangat suli,. Berbeda dengan energi terbarukan yang banyak inovasinya,” kata Adila.
Indonesia kini tengah mengejar target untuk mencapai pengurangan emisi sampai 0 persen pada 2050. Adila mengatakan untuk mengejar target itu, Indonesia harus memiliki 50 persen energi terbarukan. Sedangkan sampai 2025, target Indonesia adalah mencapai bauran energi 23 persen.
“Jadi memang harus lebih cepat penambahannya, bahkan harus enam kali lebih cepat agar bisa mengejar target pada 2025,” tutur dia. Adapun pada 2021, bauran energi terbarukan di Tanah Air baru 12,6 persen.
Tahun depan, Indonesia diproyeksikan menggunakan porsi energi terbarukan 24,8 persen. Angka itu jauh dari rekomendari IPCC atau tidak sampai setengah dari porsi pemanfaatan energi batu bara yang sebesar 59,4 persen. Jika dirinci lagi, ternyata pada 2023, energi surya yang banyak potensinya hanya mendapat porsi 1,4 persen; panas bumi 8,2 persen; dan air 9,6 persen. “Itu menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL),” katanya. (ar/tempo)
Bikin artikel seru kamu yang menarik dan bermanfaat! Let’s join OnokAe Ada Aja dengan klik di sini.